Ide-Ide Tentang Representasi

Ide-ide tentang representasi berkaitan dengan bagaimana subjek-subjek berbeda dengan contoh lain. Misalnya representasi kaum gay sebagai stereotip dalam materi komedi berkonsentrasi pada penampilan, gaya bicara, dan perilaku yang berbeda dan lebih menonjol dari masyarakat pada umumnya. Representasi ini dilihat sebagai bentuk perhatian terhadap perbedaan sosial untuk menegakkan norma-norma sosial, misalnya tentang homoseksualitas dari heteroseksualitas; heteroseksualitas normal.



Sudut Pandang


            Representasi terutama yang terdapat dalam media visual, dikonstruksi dari sudut pandang tertentu. Frasa 'sudut pandang' ini memiliki 2 makna, yaitu :

  1. Sudut pandang yang merujuk pada pandangan harfiah dalam ruang angkasa, yaitu sudut pandang yang ditempatkan oleh kamera yang telah mengambil suatu foto. Pandangan spasial ini menempatkan hubungan dengan subjek dan memengaruhi bagaimana cara kita memahaminya. Posisi kamera yang dipilih oleh fotografer atau pembuat film untuk suatu alasan menjadi pengaruh posisi menonton kita.
  2. Pemahaman lainnya tentang 'sudut pandang' berkaitan dengan pandangan intelektual dan kritis yang diambil berkaitan dengan materi media.
Hall (1997) mendeskripsikan 3 pendekatan terhadap representasi, yang dapat diringkas sebagai berikut:

  • Reflektif, yang berkaitan dengan pandangan atau makna tentang representasi yang entah di mana 'di luar sana' dalam masyarakat sosial kita.
  • Intensional, yang menaruh perhatian terhadap pandangan kreator/produser representasi tersebut.
  • Konstruksionis, yang menaruh perhatian terhadapa bagaimana representasi dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual.

Tatapan dan Objektivitas


Ide-ide tentang representasi sangat menaruh perhatian terhadap media visual. Dikemukakan bahwa tindakan menatap juga merupakan tindakan menjadikan representasi itu jelas dalam hal memberikan makna di dalam kepala kita.

Ide tentang tatapan adalah subjek dari suatu khazanah kritik. Mulvey dkk (1975) telah mengemukakan bahwa bagaimana kaum pria melihat gambar-gambar wanita dalam film-film menggunakan tatapan voyeuristic, di mana pengamat memiliki semacam kekuatan rahasia terhadap subjek yang pada dasarnya menjadi korban. Serta terdapat juga pembahasan kritis tentang bagaimana wanita menatap pria, atau bagaimana pria gay menatap pria. Dalam setiap kasus menatap, jenis konstruksi mental dari representasi tersebut juga bervariasi.

Objektivitas melalui tatapan adalah ide yang lain tentang tatapan tersebut. Ide disini adalah bahwa subjek diubah menjadi objek. Misalnya perempuan tersebut, anak tunawisma tersebut, atau siapapun diubah menjadi suatu 'benda' dalam tindakan representasi tersebut. Tindakan ini menyangkut aktivitas menatap seperti halnya menyangkut foto atau gambar film itu sendiri.

Ideologi dan Wacana


Representasi itu sangat ideologis. Kita dapat mengajukan argumen bahwa makna tentang subjek-subjek representasi adalah makna yang menyangkut :

  1. Siapa yang memiliki kekuasaan dan siapa yang tidak.
  2. Bagaimana kekuasaan diterapkan.
  3. Nilai-nilai yang mendominasi cara kita berpikir tentang masyarakat dan hubungan-hubungan sosial.
Kita juga dapat berargumen bahwa berbagai subjek representasi mempersonifikasi wacana. Ide tentang perempuan yang histeris mempersonifikasi tidak hanya ide-ide Victorian sebelumnya tentang kegilaan namun juga menyajikan berbagai ide tentang hakikat perempuan.Representasi berfungsi untuk mendukungn ide-ide tentang:

  1. Perempuan-perempuan itu emosional (lebih daripada pria)
  2. Emosi dipertentangkan dengan logika (para pria logis)
  3. Keberlebihan emosi tidak diharapkan (apapun tingkat keberlebihan tersebut)
  4. Emosi adalah kelemahan (perempuan lemah, pria tidak)

Determinisme Ekonomi

Sehubungan dengan periklanan dan pemasaran secara khusus, dapat dikatakan bahwa representasi dibentuk menurut penghasilan yang tersisa setelah dipotong pajak dari kelompok tertentu.

Posmodernisme
Representasi memiliki suatu tingkat validitas dan menjadi relatif satu sama lain. Hal ini terjadi apabila kita memiliki pandangan bahwa tidak ada realitas mutlak di luar sana, maka tidak akan ada ukuran yang mutlak terhadap representasi. Posmodernisme dapat mempertanyakan gagasan tentang kebenaran-kebenaran mutlak, bahkan konsep-konsep dasar tentang kritik sosiologis media.



Sumber:
Burton, Graeme. (1999). Media dan budaya populer. Yogyakarta: Jalasutra.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Komunikasi Massa Klasik dan Kritis